Breaking News
Loading...
Selasa, 16 Februari 2016

THAHARAH (BAG 1)

THAHARAH

Thaharah dalam bahasa Arab bermakna An-Nadhzafah yaitu kebersihan. Namun yang dimaksud disini tentu bukan semata kebersihan tetapi ynag dimaksud bermakna kesucian juga. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah : mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu, mengangkat hadats dan menghilangkan najis. (Kifayatul akhyar hal 6).


Pentingnya Thaharah:
1. Thaharah menduduki masalah penting dalam islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-sian.
2. Thaharah adalah ritual. Thaharah tidak selalu identik dengan kebersihan, meski oun tetap punya hubungan yang kuat dan seringkali tidak terpisahkan. Thaharah lebih cepat diterjemahkan menjaga kesucian secara ritual di sisi Allah SWT.
Mengapa kita sebut kesucian ritual?
Pertama,bersih itu lawan tidak kotor, tidak berdebu, tidak belepotan lumpur, tidak tercampur keringat, tidak dekil atau tidak lusuh. Sementara suci kebalikan dari najis. Segala yang bukan najis atau yang tidak terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam rumus kesucian fiqih islam bukan najis atau benda yang terkena najis. Artinya, meski tubuh dan pakaian seseorang kotor, berdebu, terkena lumpur atau tanah becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya, justru kita bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu. Kalau debu diakatakn najis, maka seharusnya hal itu bertentangan. Tanah dalam pandangan fiqih adalah benda suci, boleh digunakan untuk bersuci.
Kedua, thaharah adalah bentuk ritual, karena untuk menetapkan sesuatu itu suci atau tidak, justru tidak ada alasan logis yang masuk akal. Kesucian atau kenajisan itu semata-mata ajara, ritual, ritus, dan kepercayaan. Ketentuan seperti itu tentu resmi datang dari Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah SAW secara sah.
Daging babi tidak menjadi najis karena alasan mengandung cacing pita atau sejenis virus tertentu. Sebab daging babi tetap haram meski teknologi bisa memasah babi dengan mematikan semua jenis cacing pita atau virus yang terkandung di dalamnya. Daging babi juga tidak menjadi najis hanya karena babi dianggap hewan kotor. Sebab seorang penyayang binatang bisa saja memelihara babi di kandang emas, setiap hari dimandikan dengan sabun dan shampo yang mengandung anti-septik, dihias di salon hewan sehingga berpenampilan cantik, wangi dan berbulu menarik.
Babi tetaplah babi, dia tetap hewan najis, bukan karena lifestyle sang babi, tetapi karena ke –babi-annya. Dan najisnya babi sudah kehendak Allah SWT, sampai hari kiamat buat seorang mulsim, babi adalah hewan najis. Tapi bukan berarti seorang muslim boleh berlaku kejam, sadis atau boleh menyiksa babi. Tetap saja babi punya hak hidup dan kebebasan. Dalam kasusu ini, ‘illat (alasan) atas kenajisannya bukan berangkat dari hal-hal yang masuk akal. Tapi ini adalah aturan yang Allah turunkan.

Pembagian Jenis Thaharah
Thaharah terdiri dari thaharah hakiki atau yang terkait dengan urusan najis, dan thaharah hukmi atau terkait dengan hadats.
1. Thaharah Hakiki (Najis)
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat dengan memakai pakaina yang ada moda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. Thaharah hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Cara untuk membersihkan bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila jenis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilangwarna, bau dan rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi (Hadats)
Sedangkan thaharah hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual. Seorang yang tertidur batal wudhu’nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar sehingga selesai dari mandi janabah.
Jadi, thaharah hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah. Thaharah rukmi didapat dengan cara berwudhu atau mandi janabah.

Perhatian Islam Pada Thaharah
Banyak realitas dalam syariah islam yang menunjukkan bahwa agama ini benar-benar memberikan perhatian yang besar pada masalah thaharah ini.
1. Islam Adalah Agama Kebersihan
Perhatian islam atas dua jenis kesucian itu hakiki dan maknawi merupakan bukti otentik tentang konsistensi islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan. Meski wudhu, mandi dan membersihkan najis termasuk perkara ritual, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan kebersihan. Seorang disyariatkan berwudhu sehari lima kali pasti berbeda keadaannya dengan yang tidak berwudhu sehari lima kali. Kita bayangkan di masa lalu dimana mandi dibeberapa belahan dunia dianggap sesuatu yang asing dan jarang-jarang dilakukan. Konon raja Inggris di abad pertengahan sekali pun, jarang-jarang yang kenal mandi. Di Eropa zaman kegelapan, orang-orang terbiasa tidur bersama dengan ternak mereka, sapi, anjing, dan babi. Sementara ratusan tahun sebelumnya umat islam sudah membedakan mana najis dan mana yang bukan najis.
2. Islam Memperhatikan Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit termasuk juga bentuk perhatian serius atas masalah kesehatan baik yang bersifat umum atau khusus. Serta pembentukan fisik dengan bentuk yang terbaik dan penampilan yang terindah. Perhatian ini juga merupakan syarat kepada masyarakat untuk mencegah tersebarnya penyakit, kemalasan dan kefuturan. Sebab wudhu dan mandi itu secara fisik terbukti bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas dan membersihkan diri dari segala kuman penyakit yang setiap saat bisa menyerang tubuh. Secara ilmu kedokteran modern terbukti bahwa upaya yang paling efektif untuk mencegah terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan seperti yang sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari mengobati.
3. Dipuji Allah SWT
Allah SWT telah memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian di dalam Al-Qur’an  Al-Karim. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihkan diri” (QS. An-Taubah : 108). Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulluah SAW kepada jamaah dari shahabatnya : “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji”. (HR. Ahmad)
4. Kesucian Itu Sebagian dari Iman
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai dan derajat keimanan seseorang. Bila urusan kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan sebaliknya, bila masalah kesucian ini tidak diperhatikan, maka kualitas imannya sangat dipertaruhkan. “Kesucian itu bagian dari iman”. (HR Muslim).
5. Kesucian Adalah Syarat Ibadah
Selain menjadi bagian utuh dari keimanan seseorang., masalah kesucian ini pun terkait erat dengan syah tidaknya ibadah seseorang. Tanpa adanya kesucian, maka seberapa bagus dan banyaknya ibadah seseorang akan menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak didasari dengan kesucian baik hakiki maupun maknawi. Rasulullah SAW bersabda : Dari Ali bin Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Kunci shalat itu adalah kesucian, yang mengharamkannya adalah takbir dan menghalalkannya adalah salam”. (HR. Abu Daud, Tarmizi, dan Ibdu Majah). Allah SWT tidak menerima orang yang mempersembahkan ibadahnya dalam keadaan kotor, baik secara fisik atau pun secara ruhani. Maka diantara syarat sebuah ibadah adalah bersuci, baik dari hadats atau pun dari najis.
By : Ustadzah Ade YS (KaOl IHQ)



0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer