Thaharah dalam bahasa Arab bermakna
An-Nadhzafah yaitu kebersihan. Namun yang dimaksud disini tentu bukan semata
kebersihan tetapi ynag dimaksud bermakna kesucian juga. Thaharah dalam istilah
para ahli fiqih adalah : mencuci anggota
tubuh tertentu dengan cara tertentu, mengangkat hadats dan menghilangkan najis.
(Kifayatul akhyar hal 6).
Pentingnya Thaharah:
Pentingnya Thaharah:
1. Thaharah menduduki masalah penting dalam islam. Boleh dikatakan bahwa
tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab
beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah
tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka
konsekuensinya adalah kesia-sian.
2. Thaharah adalah ritual. Thaharah tidak selalu identik dengan kebersihan,
meski oun tetap punya hubungan yang kuat dan seringkali tidak terpisahkan.
Thaharah lebih cepat diterjemahkan menjaga kesucian secara ritual di sisi Allah
SWT.
Mengapa kita sebut kesucian ritual?
Pertama,bersih itu lawan tidak kotor, tidak berdebu, tidak
belepotan lumpur, tidak tercampur keringat, tidak dekil atau tidak lusuh.
Sementara suci kebalikan dari najis. Segala yang bukan najis atau yang tidak
terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam
rumus kesucian fiqih islam bukan najis atau benda yang terkena najis. Artinya,
meski tubuh dan pakaian seseorang kotor, berdebu, terkena lumpur atau tanah
becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya, justru kita bertayammum dengan
menggunakan tanah atau debu. Kalau debu diakatakn najis, maka seharusnya hal
itu bertentangan. Tanah dalam pandangan fiqih adalah benda suci, boleh
digunakan untuk bersuci.
Kedua, thaharah adalah bentuk ritual, karena untuk menetapkan
sesuatu itu suci atau tidak, justru tidak ada alasan logis yang masuk akal.
Kesucian atau kenajisan itu semata-mata ajara, ritual, ritus, dan kepercayaan.
Ketentuan seperti itu tentu resmi datang dari Allah SWT dan dibawa oleh
Rasulullah SAW secara sah.
Daging babi tidak menjadi najis karena
alasan mengandung cacing pita atau sejenis virus tertentu. Sebab daging babi
tetap haram meski teknologi bisa memasah babi dengan mematikan semua jenis
cacing pita atau virus yang terkandung di dalamnya. Daging babi juga tidak
menjadi najis hanya karena babi dianggap hewan kotor. Sebab seorang penyayang
binatang bisa saja memelihara babi di kandang emas, setiap hari dimandikan
dengan sabun dan shampo yang mengandung anti-septik, dihias di salon hewan
sehingga berpenampilan cantik, wangi dan berbulu menarik.
Babi tetaplah babi, dia tetap hewan
najis, bukan karena lifestyle sang babi, tetapi karena ke –babi-annya. Dan
najisnya babi sudah kehendak Allah SWT, sampai hari kiamat buat seorang mulsim,
babi adalah hewan najis. Tapi bukan berarti seorang muslim boleh berlaku kejam,
sadis atau boleh menyiksa babi. Tetap saja babi punya hak hidup dan kebebasan.
Dalam kasusu ini, ‘illat (alasan) atas kenajisannya bukan berangkat dari
hal-hal yang masuk akal. Tapi ini adalah aturan yang Allah turunkan.
Pembagian Jenis Thaharah
Thaharah terdiri dari thaharah hakiki
atau yang terkait dengan urusan najis, dan thaharah hukmi atau terkait dengan
hadats.
1. Thaharah Hakiki (Najis)
Thaharah secara hakiki
maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan
tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah
terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat dengan memakai pakaina
yang ada moda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak
terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. Thaharah hakiki bisa didapat dengan
menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan pakaian atau tempat untuk
melakukan ibadah ritual. Cara untuk membersihkan bermacam-macam tergantung
level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja,
maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila jenis itu berat, harus dicuci dengan
air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan,
disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilangwarna, bau dan
rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi (Hadats)
Sedangkan thaharah
hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun
hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya
secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita.
Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang
bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual. Seorang
yang tertidur batal wudhu’nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang
menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu bila ingin
melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian
pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan
bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci
dari hadats besar sehingga selesai dari mandi janabah.
Jadi, thaharah hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang
tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk
melakukan ritual ibadah. Thaharah rukmi didapat dengan cara berwudhu atau mandi
janabah.
Perhatian Islam Pada Thaharah
Banyak realitas dalam syariah islam yang
menunjukkan bahwa agama ini benar-benar memberikan perhatian yang besar pada
masalah thaharah ini.
1. Islam Adalah Agama Kebersihan
Perhatian islam atas
dua jenis kesucian itu hakiki dan maknawi merupakan bukti otentik tentang
konsistensi islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa islam adalah peri
hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan. Meski wudhu,
mandi dan membersihkan najis termasuk perkara ritual, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan kebersihan. Seorang disyariatkan
berwudhu sehari lima kali pasti berbeda keadaannya dengan yang tidak berwudhu
sehari lima kali. Kita bayangkan di masa lalu dimana mandi dibeberapa belahan
dunia dianggap sesuatu yang asing dan jarang-jarang dilakukan. Konon raja
Inggris di abad pertengahan sekali pun, jarang-jarang yang kenal mandi. Di
Eropa zaman kegelapan, orang-orang terbiasa tidur bersama dengan ternak mereka,
sapi, anjing, dan babi. Sementara ratusan tahun sebelumnya umat islam sudah
membedakan mana najis dan mana yang bukan najis.
2. Islam Memperhatikan Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit
termasuk juga bentuk perhatian serius atas masalah kesehatan baik yang bersifat
umum atau khusus. Serta pembentukan fisik dengan bentuk yang terbaik dan
penampilan yang terindah. Perhatian ini juga merupakan syarat kepada masyarakat
untuk mencegah tersebarnya penyakit, kemalasan dan kefuturan. Sebab wudhu dan
mandi itu secara fisik terbukti bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas
dan membersihkan diri dari segala kuman penyakit yang setiap saat bisa
menyerang tubuh. Secara ilmu kedokteran modern terbukti bahwa upaya yang paling
efektif untuk mencegah terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga
kebersihan. Dan seperti yang sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh
lebih baik dari mengobati.
3. Dipuji Allah SWT
Allah SWT telah memuji
orang-orang yang selalu menjaga kesucian di dalam Al-Qur’an Al-Karim. “Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihkan diri” (QS. An-Taubah
: 108). Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan
idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian dan
kebersihan. Baik kesucian zahir maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulluah SAW
kepada jamaah dari shahabatnya : “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka
perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa
seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah
tidak menyukai hal yang kotor dan keji”. (HR. Ahmad)
4. Kesucian Itu Sebagian dari Iman
Rasulullah SAW telah
menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai dan derajat
keimanan seseorang. Bila urusan kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan
sebaliknya, bila masalah kesucian ini tidak diperhatikan, maka kualitas imannya
sangat dipertaruhkan. “Kesucian itu bagian dari iman”. (HR Muslim).
5. Kesucian Adalah Syarat Ibadah
Selain menjadi bagian
utuh dari keimanan seseorang., masalah kesucian ini pun terkait erat dengan
syah tidaknya ibadah seseorang. Tanpa adanya kesucian, maka seberapa bagus dan
banyaknya ibadah seseorang akan menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak
didasari dengan kesucian baik hakiki maupun maknawi. Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ali bin Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Kunci shalat itu adalah
kesucian, yang mengharamkannya adalah takbir dan menghalalkannya adalah salam”.
(HR. Abu Daud, Tarmizi, dan Ibdu Majah). Allah SWT tidak menerima orang yang
mempersembahkan ibadahnya dalam keadaan kotor, baik secara fisik atau pun
secara ruhani. Maka diantara syarat sebuah ibadah adalah bersuci, baik dari
hadats atau pun dari najis.
By : Ustadzah Ade YS (KaOl IHQ)
By : Ustadzah Ade YS (KaOl IHQ)
0 komentar:
Posting Komentar