Tanya : Mau
tanya tentang hukum isbal yaitu menjulurkan pakaian melebihi mata kaki untuk
laki-laki, karena banyak haditsnya yang menyatakan hukumnya makruh bahkan
haram. Mohon penjelasannnya.
Jawab : بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Memanjangkan
pakaian jika tujuannya untuk menyombongkan diri hukumannya tidak dilihat Allah
pada hari kiamat, tidak diajak bicara, tidak disucikan, dan diadzab dengan
adzab yang pedih. Sedangkan jika tidak
bertujuan untuk menyombongkan diri, maka hukumannya akan diadzab dengan api
neraka berdasarkan kain yang melebihi di bawah mata kaki, karena Nabi
shallallahu 'alahi wasallam bersabda, “Tiga golongan yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada Hari Kiamat, tidak dilihat, tidak disucikan dan mereka
mendapatkan adzab yang pedih : yaitu orang yang memanjangkan pakaian, orang yang
mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan
sumpah palsu.” (Diriwayatkan Muslim).
Ditakhrij
Muslim, kitab Al-Iman, bab “Bayanu Ghaladz Tahrimi Isbali Al-Izar”. Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin, berkata bahwa isbal terdiri dari dua macam :
1.
Jika karena sombong dan congkak, ini termasuk dosa besar.
2.
Jika dilakukan tidak dengan kesombongan. Perbuatan ini pun dilarang karena
dikhawatirkan termasuk dosa besar. Ketahuilah bahwa kesombongan itu merupakan
akhlak batin, yang muncul karena amal, yang berarti kesombongan merupakan buah
dari amal. Akhlak ini merupakan hasrat untuk menampakkan diri di hadapan orang
yang akan disombongi, agar terlihat lebih hebat dari yang lain, dengan memiliki
sifat kesempurnaan. Pada saat itulah dia menjadi sombong. Jadi, dia dikenai
dosa atas kesombongannya bukan sunnah nabi.
واللهأعلمبالصواب
MAHAR Oleh : Ustadzah Enung
Tanya: Assalamu'alaikum. Saya
ingin bertanya ustadzah. Apakah boleh hafalan Al-Qur'an digunakan sebagai
mahar? Karena dari apa yang saya pelajari, saya masih bingung sebab ada dua
keyakinan antara diperbolehkan dan tidak. Jazakumullah khoiron katsiron.
Wassalamu'alaikum.
Jawab : بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم وَ عَلَيْكُمْ لسَّلاَم وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
Mahar
itu berupa sesuatu yang memiliki manfaat bagi istri. Syaikh Abdullah Alu Bassam
menjelaskan, “Dibolehkan semua bentuk mahar yang mengandung manfaat (bagi
istri). Seperti mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan fikih, mengajarkan adab,
mengajarkan membuat sesuatu, mengajarkan atau lainnya yang memiliki manfaat.”
(Taisirul Allam, 440).
Nabi
shallallahu’alaihi wasallam pernah menikahkan sahabatnya yang tidak memiliki
harta untuk dijadikan mahar. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda
:
اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Artinya : “Pergilah dan aku akan
menikahkanmu dengan apa yang ada padamu dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 5087
dan Muslim no. 3472)
Hadits
tersebut menunjukkan bolehnya mengajarkan Al-Qur’an dan surat-suratnya sebagai
mahar. Karena mengajarkan Al-Qur’an itu boleh diambil upah darinya, maka boleh
dijadikan mahar. (Syarah Shahih Bukhari, 7/267).
Imam
Malik bin Anas juga menjelaskan :
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِي الَّذِي أَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْكِحَ بِمَا مَعَهُ مِنَ الْقُرْآنِ أَنَّ ذَلِكَ فِي أُجْرَتِهِ عَلَى تَعْلِيمِهَا مَا مَعَهُ
Artinya : “Dari Malik bin Anas,
mengenai perintah Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang menikahkan dengan apa
yang ada pada diri sahabatnya dari Al-Qur’an, maksudnya karena dalam dirinya
ada nilai upah dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada istrinya.” (dinukil dari Al
Istidzkar, 21/120).
Para
fuqaha (ahli fikih) berbeda pendapat mengenai bolehnya menjadikan hafalan
Al-Qur’an sebagai mahar untuk wanita. Yang masyhur dari ulama Hanafiyah dan
Malikiyah serta salah satu pendapat Imam Ahmad mengatakan tidak bolehnya
menjadikan hafalan Al-Qur’an sebagai mahar untuk wanita. Karena farji tidak
bisa dihalalkan kecuali dengan benda yang berupa harta.
Berdasarkan
firman Allah Ta’ala :
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An Nisa: 24).
Dan
karena hafalan Al-Qur’an itu tidak boleh digunakan pemiliknya kecuali untuk
bertaqarrub. Adapun ulama Syafi’iyyah, dan sebagian pendapat Malikiyyah, dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad membolehkan menjadikan hafalan Al-Qur’an
sebagai mahar untuk wanita. Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
menikahkan seorang sahabat dengan seorang sahabiyah dengan mahar ilmu Al-Qur’an
yang ada pada diri sahabat tersebut. Yaitu sabda Nabi shallallahu’alaihi
wasallam :
أملكناكها بما معك من القرآن
Artinya : “Aku nikahkan engkau
dengan dia, dengan apa yang ada para dirimu dari Al-Qur’an.“
Kemudian
ulama yang membolehkan hal ini, mereka bersepakat bahwa harus menyebutkan
secara spesifik ayat apa yang dihafalkan. Karena surat dan ayat itu
berbeda-beda. Dan mereka juga sepakat mewajibkan sang suami untuk mengajarkan
sang istri hafalan ayat dan surat yang disepakati tersebut.
Jika
kita melihat dari beberapa hadits yang membolehkan hafalan sebagai mahar, itu
karena sang laki-laki tidak mempunyai suatu apapun untuk mahar kecuali ilmu
Al-Qur'an yang ada padanya.
Dalam
hadits lain : الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدِ
Artinya : "Cari mahar,
meskipun hanya cincin besi." (HR. Bukhari dan Nasai).
Kalaupun
mau hafalan Al-Qur'an, maka tetap disertai mahar berupa benda yang lainnya.
Atau hafalan Al-Qur'an itu sebagai hadiah dari mempelai pria untuk wanita.
Insya Allah lebih aman. وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّاب
0 komentar:
Posting Komentar